Wednesday, April 19, 2017

PROSESI BAHARI DI SELAT GONZALUS

PROSESI BAHARI DI SELAT GONZALUS

Dulu, Rowido merupakan sebuah kampung di pinggir pantai, terletak di bagian timur Larantuka. Penduduknya berbahasa melayu, mereka datang dari bagian barat Indonesia dengan membawa tradisi Katolik yang sudah berkembang semasa Portugis menguasai Malaka, 1511-1641. Ketika Portugis jatuh ke tangan Belanda, bermigrasilah penduduk Tanah Malaka ke wilayah timur Indonesia, termasuk di wilayah Larantuka dan sekitarnya.

Tradisi Agama Katolik di Kampung Rowido berpusat di Kapela Tuan Meninu. Di Kapela itu terdapat banyak patung, di antaranya 3 patung yang terkenal, yakni Patung Yesus Tersalib yang terbuat dari Gading, Patung Bunda Maria (Deo Senyora) dan Patung Bayi Yesus Tuan Meninu. Patung Yesus Tersalib biasa diantar ke Larantuka pada Prosesi Jumat Agung untuk ditahtakan di salah satu armida dari 8 armida pada Prosesi Jumat Agung di Larantuka. Patung Tuan Meninu diupacarakan secara khusus dan istimewa pada masa Natal. Ada salah kaprah, orang menyebut Prosesi Bahari di Selat Gonzalus yakni menghantar Tuan Meninu ke Larantuka. Sesungguhnya yang diantarkan dengan menggunakan berok yang didampingi sejumlah sampan itu adalah menghantar Patung Tuhan Yesus Tersalib.

Dahulu, Rowido itu sebuah kampung sunyi, hanya orang sekampung menghantar Patung Yesus Tersalib dari Kapela ke Pantai, kemudian hanya 1 berok dan beberapa sampan yang menghantar Patung Yesus Tersalib ke Pante Kuce, Pohon Siri - Larantuka. Bahkan sempat di tahun 1970-an, Prosesi itu sempat terhenti, artinya tidak disertakan dalam prosesi di Larantuka. Setelah suksesi Bupati Flores Timur tahun 1984, pucuk pimpinan berpindah dari Bpk. Markus Weking kepada Bpk. Simon Petrus Soliwoa, tradisi Prosesi Bahari itu dihidupkan kembali. Tentu saja, Bupati Soliwoa memfasilitasi dimulainya kembali prosesi itu. Karenanya dia dinobatkan sebagai kepala kampung untuk turut serta naik dalam berok yang memuat patung Yesus Tersalib. Sejak itu hingga tahun kemarin selalu saja ada pejabat pemerintah mengambil posisi yang dimulai oleh Bpk. Simon Petrus Soliwoa. Menariknya ketika Hendrikus Hengki Mukin menjadi Bupati Flores Timur tahun 1994-2000, beliau membuka ruang dan peluang menjadikan Event Semana Santa sebagai wisata rohani. Maka kampung yang sunyi itu pun menjadi sangat ramai di hari Jumat Agung. Kendaraan laut yang menghantar patung itu semakin banyak. Mulanya, selain berok dan sampailn-sampan, ada sebuah kapal nelayan bakti. Dalam 10 tahun terakhir, Selat Gonzalus boleh dibilang hampir dipenuhi oleh kendaraan laut; Kapal Patroli, Kapal Nelayan Bakti, Kapal Penumpang, dan sampan-sampan. Orang-orang pun ramai datang ke tempat itu dari penjuru tanah air, utamanya wilayah NTT, ada pula peziara domestik dan mancanegara. Menghadapi kondisi yang semakin kompleks itu maka dalam beberapa tahun terakhir ada pula panitia yang dibentuk untuk perayaan iman tersebut. Pengamanan ditingkatkan baik oleh masyarakat Kampung Rowido maupun pengamanan eksternal dari pihak keamanan pemerintah. Karena semakin banyak orang mendatangi Kapela itu untuk memberikan penghormatan kepada Yesus, acara cium Tuan pun dibuka beberapa hari sebelumnya untuk memberi kesempatan kepada umat sehingga pada hari jumat Agung lebih diprioritaskan bagi peziara yang datang dari luar.

Siapa bilang tradisi tidak bisa berubah oleh kemajuan yang dialami oleh masyarakat itu sendiri dan oleh pengaruh yang datang dari luar? Yang perlu diawasi yakni jangan dengan sengaja dan sadar mengubah tradisi demi keinginan sponsor. Pun juga jangan terjebak dalam apa yang disebut tradisionalisasi diri, artinya menghidupkan kembali hal yang terjadi di masa lampau yang sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman. Zaman berubah kita pun berubah di dalamnya. Pun juga harus diawasi, jangan ada upaya memantas-maa
taskan diri dengan menyibukkan diri pada hal-hal yang menyenangkan para tamu dan mengabaikan hakekat ritual sebagai sarana mengembangkan kerohanian. Hal-hal terakhir ini yang perlu diwaspadai sehingga Prosesi Bahari tetap pada hakekat dan tujuannya dan tidak berniat menjadikannya sebagai sebuah media atau sarana bagi kepentingan lain semisal untuk komersialisasi dan politisasi. Biarlah para pelaku tradisi melaksanakan ritual itu sesuai keyakinan dan imannya dan tidak dibelokkan kepada kepentingan yang lain. Jika itu terjadi, kita akan terjebak dalam kegiatan sandiwara rohani.

Sunday, February 14, 2016

PROSESI BAHARI: ANTARA LITURGI DAN DEVOSI



 PROSESI BAHARI: ANTARA LITURGI DAN DEVOSI 



            Liturgi berarti doa bersama. Dengan doa bersama, seharusnya terbentuk komunitas doa. Seharusnya komunitas liturgi tidak terbatas pada waktu perayaan. Seharusnya perayaan liturgi mempertemukan orang sebagai saudara seiman.[1] Lirurgi adalah perayaan iman gereja akan misteri penyelamatan Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus. Dalam liturgi terjadi perjumpaan antara Allah dengan manusia melalui Yesus Kristus dalam ikatan Roh Kudus.
Jika dilihat dari pemahaman di atas maka Prosesi Bahari dapat kita asumsikan sebagai sebuah bentuk liturgi di mana masyarakat setempat membentuk sebuah komunitas doa. Mereka tidak membatasi dirinya pada waktu perayaan saja. Dalam prosesi ini, mereka sebagai umat Allah mengalami suatu perjumpaan dengan Allah yang sungguh mereka yakini hadir melalui Yesus Kristus yang mereka arak sepanjang perjalanan bahari itu.
Di samping itu devosi sendiri berarti dedikasi pribadi Kristen kepada seorang kudus atau kepada sala satu aspek dari kehidupan Kristus, yang merupakan suatu sumber inspirasi khusus bagi orang tersebut. Bagi orang tadi, orang kudus tertentu atau Bunda Maria atau aspek tertentu kehidupan Kristus, mempunyai daya tarik khusus kepadanya. Ia merasa tertolong dan diteguhkan dalam perjalanan hidupnya. Sikap inilah yang melahirkan praktek-praktek religius tertentu yang menekankan peranan seorang kudus atau misteri ilahi tertentu dalam hidupnya[2].
Setelah mendalami makna dari Liturgi dan Devosi seperti yang telah dipaparkan di atas maka Prosesi Bahari yang setiap tahun dilakukan oleh orang Larantuka lebih tepat jika kita golongkan sebagai sebuah bentuk Devosi ketimbang Liturgi. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga unsur-unsur Liturgi dalam prosesi ini tetapi tidak dapat dengan mutlak kita golongkan dalam sebuah bentuk perayaan Liturgi. Ini diperkuat dengan apa yang dtuliskan dalam Konsili Vatikan II yang memberikan pandangannya yang cukup seimbang. “Hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam Liturgi. Sebab manusia Kristiani, yang memang dipanggil untuk berdoa bersama, toh harus memasuki biliknya juga untuk berdoa bersama Bapa di tempat yang tersembunyi” (SC. No. 13). Dikatakan juga bahwa “ulah kesalehan, umat Kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma gereja, sangat dianjurkan, terutama atas penetapan tahta Apostolik” (SC. No. 128)

INKULTURASI DALAM PROSESI BAHARI
            Wujud inkulturasi dapat terlihat dari tata cara peribadatan yang dilakukan pada saat terjadinya prosesi itu. Kita akan semakin memahami nilai inkulturasi dalam Prosesi ini jika mencoba sedikit lebih dalam menggali sejarah masuknya agama Katolik ke dalam masyarakat setempat.
Pertama, sarana-prasarana yang dipakai seperti sampan sudah menunjukan bahwa Agama Katolik yang hadir berpadu dengan budaya kehidupan masyarakat setempat yang pada umumnya dulu bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain itu, ada tradisi dalam masyarakat setempat mengenai siapa-siapa yang berhak menjaga Kapela, tempat arca Yesus ditahtakan serta keturunan-keturunan mana yang mempunyai hak menjunjung atau membawa Arca Yesus keluar dari Kapela menuju ke sampan utama serta mengembalikannya ke tempat semula. Tradisi ini berawal dari tradisi-tradisi kepala suku dan penjaga-penjaga rumah adat tempat di mana diletakkan Korke, batu berhala pada zaman dulu, yang disembah masyarakat setempat sebelum mengenal agama Katolik. Setelah mereka mengenal agama Katolik yang dibawa oleh misionaris Eropa, tradisi-tradisi ini tidak serta merta hilang begitu saja melainkan tetap dipertahankan dan dikembangkan dalam nuansa kekristenan.

CATATAN KRITIS ATAS PROSESI BAHARI
            Benar jika dikatakan bahwa akhir-akhir ini Prosesi Bahari di Larantuka yang termasuk dalam lingkaran Prosesi Semana Santa pada hari Jumat Agung telah terjebak dalam pariwisata. Kenyataan memang berbicara seperti itu tetapi adalah sebuah kesalahan besar jika orang mengatakan bahwa Prosesi Bahari adalah sebuah obyek pariwisata yang dapat dikunjungi pada setiap tahunnya, tepatnya pada saat hari Jumat Agung. Perlu diketahui bahwa iman masyarakat setempat tetap kuat dan percaya bahwa Prosesi Bahari mempunyai suatu arti tersendiri begi mereka, di mana mereka benar-benar merasakan pengalaman perjumpaan dengan Allah. Dapat kita samakan dengan Vatikan dan Basilikanya. Banyak orang berbondong-bondong datang ke sana dengan berbagai maksud dan tujuannya sendiri-sendiri. Ada yang sunguh-sungguh ingin berdoa dan ada yang datang untuk berwisata. Masyarakat setempat pun demikian. Ada yang tetap bertahan dalam iman kepercayaan mereka tetapi ada yang mulai terseret arus zaman sehingga memanfaatkan kepopuleran tempat mereka untuk mengais satu dua rejeki.
Begitu pula dengan apa yang terjadi di Larantuka. Sekarang tinggal bagaimana saja Gereja Lokal setempat berperan aktif mengembalikan nilai-nilai religius yang perlahan-lahan terkikis arus zaman ini. Begitu pula dengan pribadi-pribadi, entah masyarakat setempat atau para peziarah yang datang dari luar yang harus semakin menyadari nilai-nilai luhur nan mulia yang terkandung dalam Prosesi Bahari ini.    



[1] Tom Jacobs, SJ, Teologi Doa, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 85.
[2] Yohanes Indrakusuma O. Carm, Kehidupan Devosional, dalam Johan Suban Tukan,  2001, Tradisi Semana Santa di Larantuka, Jakarta: Yayasan Putra-putri Reinha Rosari.

Saturday, December 19, 2015

LARANTUKA KERAJAAN KATOLIK DI NUSANTARA



LARANTUKA
KERAJAAN KATOLIK DI NUSANTARA

Oleh : Bernard Tukan


Potret Larantuka dengan latar belakang gunung Ile Mandiri tahun 1656 oleh Vlaming van Oudshoorn, Arnold.
Keterangan foto:
Afbeeltzel van den Berg van Larentouque, hoofd-residentieplaetse der Portugezen in de quartieren van Solor ende Timor.
caption (Taken from Joseph Letor's Facebook Account)




Ketika bagian barat Kepulauan Nusantara sudah mengalami penyuburan kebudayaan Hindu dan Islam, serta bermunculan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Islam, bagian timur kepulauan ini masih ditandai dengan pengembaraan kelompok-kelompok suku. Pengembaraan kelompok-kelompok suku itu tiba juga di wilayah Flores bagian timur, Adonara, Solor, dan Lembata yang disebut tanah Lamaholot. Di wilayah ini tersebar banyak suku. Setiap suku memiliki tutur sejarahnya sendiri hingga menetap tinggal di wilayah ini.

Perjumpaan suku-suku itu, lantas terjadi kawin-mawin dan membentuk Lewotana, kampung tradisional orang Lamaholot. Lewotana merupakan suatu jagad kehidupan yang otonom dengan adat istiadat sebagai hukum yang mengatur kebersamaan hidup. Ada batas-batas wilayah yang merupakan hak ulayat yang dijaga mati-matian. Pelanggaran batas wilayah merupakan pencederaan terhadap harkat dan martabat maka dipertahankan habis-habisan melalui perang tanding. Kepala Suku atau Tuan Tanah memiliki kekuasaan sebagaimana kekuasaan Raja dalam sistem kerajaan. Maka di Lewotana Lamaholot terdapat banyak raja, sesuai otonomi setiap Lewotana. Ada Kepala Suku atau Tuan Tanah, yang oleh kekuatan dan kekuasaannya dapat membawai sejumlah Lewotana.

Dalam buku, “Klan, Mitos, Dan Kekuasaan”, F. A. E. Van Wouden mengisahkan pengembaraan suku-suku di kawasan Indonesia Timur pada masa lampau. Salah satunya adalah pengembaraan suku-suku dari Timor hingga tiba di Larantuka. Ada 4 (empat) suku meninggalkan “Sina Mutin Malakkan” di Belu Selatan untuk mencari tempat hunian yang baru. “Di Larantuka – Bauboin (di Flores) sebagian dari mereka tinggal; merekalah yang menurunkan raja dan penduduk pantai Larantuka.” (hal. 45). Pati Golo Arakyan, nama yang disebut dari kelompok itu, yang kemudian dikatakan sebagai Raja I Kerajaan Larantuka. Ia menikahi Puteri Ile Jadi Watowele, manusia yang sudah ada di tempat itu sebelum kedatangan kelompok dari Timor.

Berturut-turut Raja – Raja yang memerintah Kerajaan Larantuka:

  1.    Raja Paty Golo Arkyan

  2.    Raja Padu Ile

  3.    Raja Sira Demong Pagamolang

  4.    Raja Mau Boli

  5.    Raja Sira Paing

  6.    Raja Sira Lanang

  7.    Raja Sira Napang

  8.    Raja Igo

  9.    Raja Ado Wuring

  10. Raja Ola Ado Bala

(dibaptis tahun 1649 dengan nama Fransisco Ola Adobala Diaz Viera de Godinho)

  11. Don Gaspar I DVG (nama asli : Raja Pati Golo) 
  12. Don Manuel DVG (nama asli : Raja Kuaka Douwo Ama. Karena masih kecil diwakili oleh Don Contantino Blangterang de Rosary. Nama aslinya Raja Kone).
  13. Don Andre I DVG (nama aslinya : Raja Pandai I)

  14. Don Laurenso I DVG

  15. Don Andre DVG II

  16. Don Gaspar II

  17. Don Dominggo DVG (Raja Ence, memerintah tahun 1877 – 1887).

  18. Don Lorenzo II DVG (Raja Usi Neno yang memerintah tahun 1887 – 1904. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Yogja. Ia meninggal tahun 1910 dan dimakamkan di Yogya)

 19. Wakil Raja Luis Blangterang de Rosary. Ia memerintah kerajaan tahun 1905 – 1906.

  20. Triumvirat yang terdiri dari :

·         Payong Blangterang de Rosary

·         Emanuel Monteiro

·         Yohanes Blangterang de Rosary

Ketiganya memerintah tahun 1906 – 1912.

  21. Raja Don Yohanes Servus

  22. Raja Don Lorenzo III DVG (Raja Nua Usi, Raja terakhir kerajaan Larantuka).


Tercatat ada 7 Wakil Raja :

  1.    Constantino Payong

  2.    Constantino Cone

  3.    Alwi

  4.    Ibunda Don Lorenzo DVG

  5.    Luis Blangterang de Rosary

  6.    Triumvirat (Payong Blangterang de Rosary, Emanuel Monteiro, Yohanes Blangterang de Rosary)

  7.    Antonius Blangterang de Rosary (Tahun 1919 – 1917)

Pada abad XV Kerajaan Larantuka ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit. Pengaruh kerajaan Majapahit tampak dalam struktur pemerintahan Kerajaan Larantuka. Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibantu oleh para Pou atau Pu/Empu. Pou merupakan Dewan Mahkota yang berperan sebagai Penasihat Raja, sekaligus menjalankan tugas-tugas eksekutif dan legislatif. Terdapat 5 (lima) Pou :

     ·         Pou Kampung  besar Waibalun

     ·         Pou Kampung  besar Larantuka

     ·         Pou Kampung  besar Balela

     ·         Pou Kampung  besar Lawerang

     ·         Pou Kampung  besar Lebao

Kemudian Pou Lawerang diganti dengan Pou Lewolere.

Di bawah Raja ada penguasa wilayah yang disebut Kakang:

  Ø  Flores Timur Daratan :

1.    Kakang Mudakeputu

2.    Kakang Wolo

3.    Kakang Lewotobi

4.    Kakang Lewoingu

  Ø  Lembata :

5.    Kakang Leweloba

6.    Kakang Lamalera

  Ø  Solor :

7.    Kakang Pamakayo

8.    Kakang Lewolein

  Ø  Adonara :

9.    Kakang Horowura
               10. Kakang Tanah Boleng
  Ø  Khusus :

11. Kakang Lewotala (Kakang Ape Dapo)

12. Kakang Kiwangona (Kakang Lango – One)


Bulan Januari 1512 Fransisco Serao, orang Portugis menyinggahi Solor dalam perjalanannya ke Malaka. Kemudian orang Portugis mulai menyebarkan agama Katolik di wilayah ini. Tahun 1561 mulai Misi Solor. Banyak penduduk dibaptis menjadi Katolik. Tanggal 20 April 1613 Benteng Lohayong di Solor jatuh ke tangan Belanda, maka berakhirlah misi Solor. Pusat misi beralih ke Larantuka, dan semakin banyak penduduk Larantuka menjadi Katolik.

Pada tahun 1511 Portugis menduduki Malaka. Selama 130 tahun berada di Malaka banyak penduduk dibaptis menjadi Katolik. Tanggal 14 Januari 1641 VOC merebut Malaka dari tangan Portugis. Penduduk Malaka yang sudah beragama Katolik bermigrasi ke daerah-daerah Katolik, termasuk banyak yang datang ke Larantuka. Sejak saat itu mayoritas penduduk Larantuka beragama Katolik.

Pada tahun 1645 lahir Ola Adobala sebagai Raja Ke-10 Kerajaan Larantuka. Ia dipemandikan pada tahun 1649 dengan nama Fransisco Ola Adobala Diaz Viera de Godinho. Menyusul seluruh kerabat Raja dibaptis katolik. Pada tahun 1661 ia dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya Raja Ado Wuring. Tahun 1665 ia menyerahkan tongkat kerajaan kepada Renha Rosari. Dengan demikian Bunda Maria menjadi Ratu Kerajaan Larantuka, dan Raja menjadi Abdi Maria, Servus Mariae. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai Tonggak Sejarah Larantuka menjadi Kerajaan Katolik.

Sebagai Kerajaan Katolik, Raja memiliki kekuasaan dan peran dalam urusan agama katolik, khususnya menyangkut tradisi devosi warisan misionaris Dominikan. Raja bersama suku-suku kerabat mengatur kegiatan mengaji semana (doa selama masa prapaskah) secara bergilir, dimana keluarga Raja mendapat giliran pertama. Raja yang berhak membuka pintu Kapela Tuan Ma untuk memulai upacara-upacara di kapela itu. Raja memiliki posisi penting dalam Prosesi Jumad Agung. Dalam organisasi Confreria (serikat kaum awam), ex officio Raja menjabat Presidenti.

Dalam banyak publikasi tentang sejarah Gereja di Larantuka, dikatakan bahwa dari semua Raja Larantuka, Don Lorenzo II DVG dipandang sebagai Raja yang sangat membantu penyebaran agama katolik di wilayah ini. Sebagai lulusan sekolah katolik, beliau turut bersama para misionaris mengajar agama di kampung-kampung. Beliau satu-satunya Raja Larantuka yang dinobatkan menjadi Raja melalui upacara misa pada tanggal 14 September 1887. Pada kesempatan itu beliau mengikrarkan sumpah di depan Perawan Tersuci Maria dan meletakkan tongkat Kerajaan di atas altar tersebut. Pada tanggal 8 September 1888 beliau membaharui penyerahan Kerajaan Larantuka kepada Bunda Maria. Dengan demikian, semakin pasti Kerajaan Larantuka merupakan Kerajaan Katolik. Para Raja sejak Raja Ola Adobala dipermandikan menghidupi tradisi katolik warisan misionaris Portugis yang masih kita saksikan hingga saat ini, utamanya tradisi devosi Semana Santa.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa Larantuka dikatakan sebagai Kerajaan Katolik dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut :

«  Raja dan rakyatnya (mayoritas) memeluk agama katolik

«  Raja memiliki kedudukan penting dan berperan dalam kegiatan-kegiatan agama katolik, seperti mengatur upacara, menyebarkan agama, berkuasa atas barang-barang untuk kepentingan upacara katolik, misalnya kapela dan segala isinya.

«  Raja menyerahkan kerajaan di bawah perlindungan dan “kekuasaan” Bunda Maria.

Dalam sejarah tidak ditemukan fakta bahwa hukum agama Katolik dijadikan hukum Kerajaan Larantuka. Dengan demikian, Kerajaan Larantuka bukan Kerajaan Agama Katolik, tetapi kerajaan yang kental dengan ciri-ciri katolik karena Raja dan mayoritas penduduknya beragama katolik.



                                                                         
 Larantuka, 29 November 2015

           Simpa Sio Institute