KEPERCAYAAN KEPADA
“LERA WULAN TANAH EKAN”
DALAM KEBUDAYAAN LAMAHOLOT
(Pendekatan Trinitas)
Injil dan penginjilan tidak harus
bertentangan dengan kebudayaan. Malahan dapat merasuki kebudayaan tanpa menjadi
tunduk terhadapnya (Evangelii Nuntiandi No. 20).[1]
Gereja Ktolik dengan misi pewartaannya hadir dalam tiap-tiap kebudayaan yang
dijumpainya, menyapa dan membaur ke dalam kebudayaan masyarakat setempat. Pada
umumnya kehadiran agama Katolik yang dibawa oleh misionaris Eropa merangkul
kebudayaan masyarakat setempat. Dengan cara ini, Agama Katolik beserta
ajarannya dapat diterima baik oleh masyarakat karena masyarakat merasa tersapa
oleh ajarannya. Mereka merasa bahawa kehadiran agama katolik sungguh menjawabi
pertanyaan akan misteri ilahi dalam kepercayaan tradisional yang selama ini
mereka dalami. Kenyataan ini berlaku pula pada masyarakat Lamaholot.[2]
Sebagai masyarakat yang berbudaya, orang Lamaholot mempunyai cara hidup dan kekhasannya
yang terdapat dalam budaya sehari-harinya. Kebudayaan masyarakat ini telah
tumbuh dan berkambang, lama sebelum misionaris Eropa menginjakan kakinya di
tanah Lamaholot bersama agama Katolik yang mereka bawa.
Kebudayaan Lamaholot
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan
adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh
tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar, dan yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat (cipta, rasa dan karsa) maka kiranya terlalu
banyak ragam kebudayaan masyarakat yang harus diidentifikasikan.[3]
Mengacu kepada pengertian di atas maka Kebudayaan Lamaholot merupakan hasil
cipta, rasa dan karsa dari masyarakat setempat.
Bagi orang
Lamaholot, salah satu puncak kebudayaan adalah “Lewotana”. Lewotana bagi orang Lamaholot termasuk dalam sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan) yang mana menggambarkan bahwa “lewotana”
(desa) berasal dari “atadikeen”
(manusia), yang membentuk keluarga menjadi “lango”
(rumah tangga, keluarga). Beberapa “lango”
bergabung menjadi satu yang disebut “suku”
dan beberapa suku bergabung menjadi “lewo”.[4] Sampai
pada tahun 1960-an terdapat praktek
hidup masyarakat pedesaan di mana setiap desa harus mempunyai “wato nubanara” (batu nubanara) yang
terletak di setiap pusat desa. “Wato
nubanara” ini diletakan dalam satu bangunan yang dinamai “Korke”.
Korke merupakan
sebuah bangunan tua yang mula-mula didirikan oleh nenek moyang di masa lampau dan dijadikan sebagai pusat
kebudayaan kampung. Selain dijadikan sebagai tempat untuk bermusyawara dan
berkumpul, Korke juga merupakan tempat bagi masyarakat untuk memohon petunjuk
dari arwah nenek moyang. Yang lebih penting adalah Korke merupakan tempat untuk
mengadakan upacara peresembahan kepada wujud tertinggi yang diyakini serta
disegani oleh masyarakat setempat.[5]
Wujud tertinggi ini mereka kenal dengan sebutan “Lera Wulan Tanah Ekan” yang berarti matahari, bulan dan bumi.[6]
Kepercayaan serta Penghormatan kepada
Lera Wulan Tanah Ekan dalam masayarakat Lamaholot
Manusia beragama dapat memakai
segala sesuatu yang ada di sekitarnya sebagai jembatan yang menghubungkan dia
dengan Yang Suci atau Yang Ilahi.[7] Masyarakat
Lamaholot pun demikian. Orang-orang Flores Timur (Lamaholot) memberi nama kepada wujud tertinggi: Matahari-Bulan-Bumi,
atau dengan ungkapan asli: Lera-Wulan-Tanah
Ekan. Matahari dipilih sebagai lambang untuk Allah, sebab memiliki kekuatan
yang membawa kehidupan. Ia dinamakan Bapa, karena memberi kesuburan kepada bumi
dengan cahaya dan hujan dari langit. Bulan dipandang sebagai lambang dari yang
suci, sebab dalam dia terdapat segala perubahan dalam Kosmos dan dalam hidup
manusia, seperti pergantian musim, pasang dan surut, hidup dan mati. Bumi
menjadi simbol wujud tertinggi karena dia adalah ibu yang memberi nafkah kepada
manusia dan menerima kembali manusia dalam haribaannya sesudah kematian.[8]
Sebelum agama
katolik tiba di Flores, masyarakat setempat telah mengenal Tuhan yang kuasa
yang disebut Lera Wulan Tanah Ekan
atau Tuhan Langit dan Bumi. Orang Flores,
terkhusus orang Lamaholot memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu
dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat pernyataan bahwa seseorang bertindak benar
dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berujar: “Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan”
(Tuhan mempunyai mata untuk melihat), yang berarti Tuhan mengetahuinya, Dia
maha tahu, maha adil, Ia akan bertindak adil. Dan dalam peristiwa kematian,
orang biasanya berkata: “Lera wulan Tanah
Ekan guti na-en” (Tuhan mengambil pulang milik-Nya). Pada perayaan syukur
sebelum memanen hasil ladang, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk
mempersembahkan hasil panenan itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan
sebelum menikmati hasil panen tersebut. Terdapat doa yang sering didaraskan
dalam upacara tersebut:
Ø
Bapa Lera
Wulan lodo hau, Ema Tanah Ekan gere haka. Tobo Tukan, Pae bawan, Ola di ehin
kae ( Bapak Lera Wulan turunlah ke sini, Ibu Tanah Ekan bangkitlah ke sini,
Duduklah di tengah kami, Hadirlah di tengah kami, Karena kerja ladang sudah
berbuah)
Ø
Here du
wain kae, Goong molo, Menu wahan, Nein kame makan, Dore menu urin (Karena menyadap tuak sudah berhasil,
makanlah terlebih dahulu, minumlah mendahului kami, barulah kami makan, barulah
kami minum kemudian)
Penghormatan dan penghargaan kepada Lera
Wulan Tanah Ekan ini hingga kini masi ada di dalam kehidupan masyarakat
setempat meskipun sekarang agama Katolik telah bertumbuh dan berakar dalam
kehidupan masyarakat Lamaholot. Kepercayaan ini dapat kita jumpai sekarang dalam
upacara-upacara adat yang dilakukan di rumah-rumah adat. Di situ, para ketua
suku akan membacakan doa-doa penghormatan kepada Lera Wulan Tanah Ekan dalam bahasa Lamaholot asli (dikatakan asli
karena sekarang bahasa daerah yang digunakan sudah berubah rupa menjadi bahasa
daerah yang moderen karena telah bercampur dengan bahasa-bahasa moderen).
Semakin hari semakin sedikit orang yang tahu tentang bahasa-bahasa adat yang
sering dipakai dalam upacara-upacara tersebut.
Pendekatan Agama Katholik (Ajaran
mengenai Trinitas) ke dalam Kebudayaan Masyarakat Lamaholot
Ajaran agama Katolik masuk ke dalam
masyarakat Lamaholot melalui misionaris Dominikan. Tidak ada kendala yang
berarti dalam mewartakan Injil Tuhan kepada masyarakat setempat, terkhusus
tantangan dari Agama lain karena di saat itu orang Lamaholot belum mengenal
agama lain. Mereka masih berpegang pada ajaran dan kepercayaan agama asli
mereka.
Meski hanya
sekedar mengenal dan percaya tanpa perlu mendalami makna serta artinya secara
lebih mendalam, ajaran gereja Katolik tentang Trinitas dapat diterima oleh
masyarakat setempat.
Bilangan tiga
merupakan lambang kesempurnaan. Aristoteles menyebutnya bilangan lengkap,
karena mempunyai awal, pertengahan dan akhir. Para
pengikut Budha memandang “aum” (Amen) sebagai simbol Trimurti, yakni Vishnu,
Brahma dan Shiva. Orang Jerman di zaman dahulu memiliki dewa tritunggal yang
disebut Odin, Thor dan Thyr. Orang Egypte mempunyai dewa: Bapa, Ibu dan Anak.
Ada tiga bagian cakrawala, yakni langit, bumi dan samudra. Ada tiga bagian bumi yakni udara, bumi dan
laut.[9]
Begitu pula dengan masyarakat Lamaholot yang percaya kepada tiga rupa yang
mewakili wujud tertinggi yang mereka percayai dalam wujud Matahari, Bulan dan
Bumi.
Setidaknya
kesamaan dalam percaya kepada wujud tertinggi dalam tiga rupa dalam masyarakat
Lamaholot membantu para misionaris untuk tidak terlalu bersusah payah dalam
menyebarkan agama Katolik di sana.
Kepercayaan terhadap Matahari, Bulan dan Bumi
perlahan-lahan bergeser menjadi kepercayaan kepada Allah Bapa, Allah
Putra dan Allah Roh Kudus. Matahari diyakini sebagai Allah Bapa, sang pencipta.
Bulan dipercaya sebagai Allah Roh Kudus karena mereka percaya bahwa bulan
adalah penerang dan berperan dalam perubahan musim di dunia. Sedangkan Bumi diartikan
sebagai Allah Putra, yang benar-benar turun dan hidup bersama manusia.
Sumber Referensi
Hayon, Niko,
1986, Ekaristi Perayaan Keselamatan dalam
Bentuk Tanda, Ende-Flores: Nusa Indah
Tukan, Johan
Suban (ed), 1994, Keluarga Nusa Tenggara
Timur, Jakarta:
Panitia Renovasi Gereja ST. Theresia Paroki Kiwang Ona, Adonara, Flores Timur,
Panitia Pendukung di Jakarta
--------------------------------,
2001, Prosesi Bersama Tuan Ma dan Tuan
Ana, Jakarta:
YPPM dan PT. Pahala Kencana
[1] Max Boli
Sabon, “Lewotana ‘Nutrisi’ Pembangunan Hukum”, dalam Johan Suban Tukan (ed), Keluarga Nusa Tenggara Timur, 1994, hlm. 50.
[2]
Lamaholot adalah nama sebuah etnik di NTT yang mendiami pulau Flores
bagian timur dan kepulauan Solor (Adonara, Solor, dan Lembata). Wilayah ini
sekarang terbagi dalam dua kabupaten yakni Kabupaten Flores Timur (Flores daratan bagian timur beserta Pulau Adonara dan
Solor) dan Kabupaten Lembata.
[3]
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi,
1969, hlm. 75-76.
[4] Max Boli
Sabon, “Lewotana ‘Nutrisi’ Pembangunan Hukum”, dalam Johan Suban Tukan (ed), Keluarga Nusa Tenggara Timur, 1994, hlm. 42.
[5] Jos U.
Hurint, “Korke Pusat Dunia”, dalam Johan suban Tukan (ed), Prosesi Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana, 2001, hlm. 8.
[6] Niko
Hayon, Ekaristi Perayaan Keselamatan
dalam Bentuk Tanda, 1986, klm. 32.
[7] Ibid, hlm. 31
[8] Ibid, hlm. 32
[9] Ibid, hlm. 33
No comments:
Post a Comment