Wednesday, December 16, 2015

KEPERCAYAAN KEPADA “LERA WULAN TANAH EKAN” DALAM KEBUDAYAAN LAMAHOLOT (Pendekatan Trinitas)




KEPERCAYAAN KEPADA
 “LERA WULAN TANAH EKAN
DALAM KEBUDAYAAN LAMAHOLOT
(Pendekatan Trinitas)

Oleh: Frano Tukan


            Injil dan penginjilan tidak harus bertentangan dengan kebudayaan. Malahan dapat merasuki kebudayaan tanpa menjadi tunduk terhadapnya (Evangelii Nuntiandi No. 20).[1] Gereja Ktolik dengan misi pewartaannya hadir dalam tiap-tiap kebudayaan yang dijumpainya, menyapa dan membaur ke dalam kebudayaan masyarakat setempat. Pada umumnya kehadiran agama Katolik yang dibawa oleh misionaris Eropa merangkul kebudayaan masyarakat setempat. Dengan cara ini, Agama Katolik beserta ajarannya dapat diterima baik oleh masyarakat karena masyarakat merasa tersapa oleh ajarannya. Mereka merasa bahawa kehadiran agama katolik sungguh menjawabi pertanyaan akan misteri ilahi dalam kepercayaan tradisional yang selama ini mereka dalami. Kenyataan ini berlaku pula pada masyarakat Lamaholot.[2] Sebagai masyarakat yang berbudaya, orang Lamaholot mempunyai cara hidup dan kekhasannya yang terdapat dalam budaya sehari-harinya. Kebudayaan masyarakat ini telah tumbuh dan berkambang, lama sebelum misionaris Eropa menginjakan kakinya di tanah Lamaholot bersama agama Katolik yang mereka bawa.

Kebudayaan Lamaholot
            Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar, dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (cipta, rasa dan karsa) maka kiranya terlalu banyak ragam kebudayaan masyarakat yang harus diidentifikasikan.[3] Mengacu kepada pengertian di atas maka Kebudayaan Lamaholot merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari masyarakat setempat.
Bagi orang Lamaholot, salah satu puncak kebudayaan adalah “Lewotana”. Lewotana bagi orang Lamaholot termasuk dalam sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan) yang mana menggambarkan bahwa “lewotana” (desa) berasal dari “atadikeen” (manusia), yang membentuk keluarga menjadi “lango” (rumah tangga, keluarga). Beberapa “lango” bergabung menjadi satu yang disebut “suku” dan beberapa suku bergabung menjadi “lewo”.[4] Sampai pada tahun 1960-an terdapat  praktek hidup masyarakat pedesaan di mana setiap desa harus mempunyai “wato nubanara” (batu nubanara) yang terletak di setiap pusat desa. “Wato nubanara” ini diletakan dalam satu bangunan yang dinamai “Korke”.
Korke merupakan sebuah bangunan tua yang mula-mula didirikan oleh nenek moyang di  masa lampau dan dijadikan sebagai pusat kebudayaan kampung. Selain dijadikan sebagai tempat untuk bermusyawara dan berkumpul, Korke juga merupakan tempat bagi masyarakat untuk memohon petunjuk dari arwah nenek moyang. Yang lebih penting adalah Korke merupakan tempat untuk mengadakan upacara peresembahan kepada wujud tertinggi yang diyakini serta disegani oleh masyarakat setempat.[5] Wujud tertinggi ini mereka kenal dengan sebutan “Lera Wulan Tanah Ekan” yang berarti matahari, bulan dan bumi.[6]

Kepercayaan serta Penghormatan kepada Lera Wulan Tanah Ekan dalam masayarakat Lamaholot
            Manusia beragama dapat memakai segala sesuatu yang ada di sekitarnya sebagai jembatan yang menghubungkan dia dengan Yang Suci atau Yang Ilahi.[7] Masyarakat Lamaholot pun demikian. Orang-orang Flores Timur (Lamaholot) memberi nama kepada wujud tertinggi: Matahari-Bulan-Bumi, atau dengan ungkapan asli: Lera-Wulan-Tanah Ekan. Matahari dipilih sebagai lambang untuk Allah, sebab memiliki kekuatan yang membawa kehidupan. Ia dinamakan Bapa, karena memberi kesuburan kepada bumi dengan cahaya dan hujan dari langit. Bulan dipandang sebagai lambang dari yang suci, sebab dalam dia terdapat segala perubahan dalam Kosmos dan dalam hidup manusia, seperti pergantian musim, pasang dan surut, hidup dan mati. Bumi menjadi simbol wujud tertinggi karena dia adalah ibu yang memberi nafkah kepada manusia dan menerima kembali manusia dalam haribaannya sesudah kematian.[8]
Sebelum agama katolik tiba di Flores, masyarakat setempat telah mengenal Tuhan yang kuasa yang disebut Lera Wulan Tanah Ekan atau Tuhan Langit dan Bumi. Orang Flores, terkhusus orang Lamaholot memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat pernyataan bahwa seseorang bertindak benar dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berujar: “Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan” (Tuhan mempunyai mata untuk melihat), yang berarti Tuhan mengetahuinya, Dia maha tahu, maha adil, Ia akan bertindak adil. Dan dalam peristiwa kematian, orang biasanya berkata: “Lera wulan Tanah Ekan guti na-en” (Tuhan mengambil pulang milik-Nya). Pada perayaan syukur sebelum memanen hasil ladang, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk mempersembahkan hasil panenan itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan sebelum menikmati hasil panen tersebut. Terdapat doa yang sering didaraskan dalam upacara tersebut:
Ø  Bapa Lera Wulan lodo hau, Ema Tanah Ekan gere haka. Tobo Tukan, Pae bawan, Ola di ehin kae ( Bapak Lera Wulan turunlah ke sini, Ibu Tanah Ekan bangkitlah ke sini, Duduklah di tengah kami, Hadirlah di tengah kami, Karena kerja ladang sudah berbuah)
Ø  Here du wain kae, Goong molo, Menu wahan, Nein kame makan, Dore menu urin       (Karena menyadap tuak sudah berhasil, makanlah terlebih dahulu, minumlah mendahului kami, barulah kami makan, barulah kami minum kemudian)
Penghormatan dan penghargaan kepada Lera Wulan Tanah Ekan ini hingga kini masi ada di dalam kehidupan masyarakat setempat meskipun sekarang agama Katolik telah bertumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Lamaholot. Kepercayaan ini dapat kita jumpai sekarang dalam upacara-upacara adat yang dilakukan di rumah-rumah adat. Di situ, para ketua suku akan membacakan doa-doa penghormatan kepada Lera Wulan Tanah Ekan dalam bahasa Lamaholot asli (dikatakan asli karena sekarang bahasa daerah yang digunakan sudah berubah rupa menjadi bahasa daerah yang moderen karena telah bercampur dengan bahasa-bahasa moderen). Semakin hari semakin sedikit orang yang tahu tentang bahasa-bahasa adat yang sering dipakai dalam upacara-upacara tersebut.

Pendekatan Agama Katholik (Ajaran mengenai Trinitas) ke dalam Kebudayaan Masyarakat Lamaholot
            Ajaran agama Katolik masuk ke dalam masyarakat Lamaholot melalui misionaris Dominikan. Tidak ada kendala yang berarti dalam mewartakan Injil Tuhan kepada masyarakat setempat, terkhusus tantangan dari Agama lain karena di saat itu orang Lamaholot belum mengenal agama lain. Mereka masih berpegang pada ajaran dan kepercayaan agama asli mereka.
Meski hanya sekedar mengenal dan percaya tanpa perlu mendalami makna serta artinya secara lebih mendalam, ajaran gereja Katolik tentang Trinitas dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Bilangan tiga merupakan lambang kesempurnaan. Aristoteles menyebutnya bilangan lengkap, karena mempunyai awal, pertengahan dan akhir. Para pengikut Budha memandang “aum” (Amen) sebagai simbol Trimurti, yakni Vishnu, Brahma dan Shiva. Orang Jerman di zaman dahulu memiliki dewa tritunggal yang disebut Odin, Thor dan Thyr. Orang Egypte mempunyai dewa: Bapa, Ibu dan Anak. Ada tiga bagian cakrawala, yakni langit, bumi dan samudra. Ada tiga bagian bumi yakni udara, bumi dan laut.[9] Begitu pula dengan masyarakat Lamaholot yang percaya kepada tiga rupa yang mewakili wujud tertinggi yang mereka percayai dalam wujud Matahari, Bulan dan Bumi.
Setidaknya kesamaan dalam percaya kepada wujud tertinggi dalam tiga rupa dalam masyarakat Lamaholot membantu para misionaris untuk tidak terlalu bersusah payah dalam menyebarkan agama Katolik di sana. Kepercayaan terhadap Matahari, Bulan dan Bumi  perlahan-lahan bergeser menjadi kepercayaan kepada Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Matahari diyakini sebagai Allah Bapa, sang pencipta. Bulan dipercaya sebagai Allah Roh Kudus karena mereka percaya bahwa bulan adalah penerang dan berperan dalam perubahan musim di dunia. Sedangkan Bumi diartikan sebagai Allah Putra, yang benar-benar turun dan hidup bersama manusia.



Sumber Referensi

Hayon, Niko, 1986, Ekaristi Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda, Ende-Flores: Nusa Indah

Tukan, Johan Suban (ed), 1994, Keluarga Nusa Tenggara Timur, Jakarta: Panitia Renovasi Gereja ST. Theresia Paroki Kiwang Ona, Adonara, Flores Timur, Panitia Pendukung di Jakarta

--------------------------------, 2001, Prosesi  Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana, Jakarta: YPPM dan PT. Pahala Kencana


[1] Max Boli Sabon, “Lewotana ‘Nutrisi’ Pembangunan Hukum”, dalam Johan Suban Tukan (ed), Keluarga Nusa Tenggara Timur, 1994,  hlm. 50.
[2] Lamaholot adalah nama sebuah etnik di NTT yang mendiami pulau Flores bagian timur dan kepulauan Solor (Adonara, Solor, dan Lembata). Wilayah ini sekarang terbagi dalam dua kabupaten yakni Kabupaten Flores Timur (Flores daratan bagian timur beserta Pulau Adonara dan Solor) dan Kabupaten Lembata.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 1969, hlm. 75-76.
[4] Max Boli Sabon, “Lewotana ‘Nutrisi’ Pembangunan Hukum”, dalam Johan Suban Tukan (ed), Keluarga Nusa Tenggara Timur, 1994,  hlm. 42.
[5] Jos U. Hurint, “Korke Pusat Dunia”, dalam Johan suban Tukan (ed), Prosesi Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana, 2001, hlm. 8.
[6] Niko Hayon, Ekaristi Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda, 1986, klm. 32.
[7] Ibid, hlm. 31
[8] Ibid, hlm. 32
[9] Ibid, hlm. 33

No comments:

Post a Comment