NEWA: SIMBOL PEREMPUAN
LAMAHOLOT
Berbicara tentang gender dalam
konteks budaya Lamaholot[1],
kita perlu memahami apa pandangan masyarakat Lamaholot tentang perempuan. Ada
banyak pendekatan yang digunakan untuk memahami pandangan masyarakat Lamaholot
tentang perempuan. Dalam kesempatan ini saya membatasi diri pada tradisi lisan,
khususnya menyangkut bahasa dan tata cara peminangan dalam adat perkawinan Lamaholot.
Unik dalam dialog antara pihak Opu
(suku dari calon suami) dan pihak Belake
(suku dari pihak calon suami). Dalam dialog itu, pihak Opu menyatakan; mereka telah
membawa benih. Jika tuan Belake berkenan memberikan Newa, maka mereka siap
menggarap, memagari dan menanam benih. Di sini seorang perempuan Lamaholot
disimbolkan dengan “NEWA”, ladang
garapan yang berpindah-pindah. Sementara pria Lamaholot dikatakan sepagai
penggarap ladang atau Newa tersebut.
Ketika
seorang perempuan disimbolkan sebagai “Newa”, teringatlah kita akan konteks
masyarakat dengan budaya agraris di dalamnya. Bagaimana ikhwal sebuah Newa
itulah yang menjadi kesibukan kita dalam mencapai pandanga masyarakat Lamaholot
tentang perempuan. Masyarakat Lamaholot hidup dalam “Lewo” yang otonom, dengan batu Nuba
Nara sebagai pusat jagad kehidupan. Masyarakat Lamaholot terstruktur atas suku-suku
pembentuknya; suku asli (pendatang awal
dan kemudian) dan pendatang dengan “Lango
Belen”[2]
sebagai pusatnya. Dalam suku-suku itulah hidup pribadi-pribadi Lamaholot.
Masyarakat Lamaholot adalah masyarakat komunal dengan peran suku yang sangat
dominan. Suku punya “Newa”, maka ketika seorang perempuan Lamaholot disimbolkan
dengan Newa, dia menjadi “milik suku” dengan segala konsekuensinya.
Sebagai
milik suku, manusia Lamaholot umumnya, khususnya perepmuan Lamaholot tidak
dapat hidup dari keputusannya sendiri dalam banyak hal. Hidupnya tergantung
pada pengaturan suku, tergantung keputusan kolektif atau keputusan yang punya
otoritas dalam suku. Dalam budaya seperti ini, manusia Lamaholot, khususnya
perempuan Lamaholot dibentuk menjadi manusia yang tidak mandiri, kreativitasnya
dipasung.
“Newa”
sebagai sebuah hamparan yang bisa dijadikan ladang, tentu kesuburannya selalu
menjadi pertimbangan. Areal ini ditakar dari segi sejauh mana dapat menumbuhkan
benih dan dapat menghasilkan buah berlimpah. Dalam tradisi berladang orang
Lamaholot, bila sebuah Newa tidak menjanjikan kesuburan, sudah sulit
menghasilkan buah berlimpah, maka pada gilirannya tempat itu pun ditinggalkan
untuk kemudian dibuka ladang baru di Newa yang lain yang terbilang masih
perawan hutannya sehingga dapat menjanjikan kesuburan. Demikian halnya
perempuan Lamaholot. Ia bernilai ketika melahirkan anak turunan. Ia dinilai
dari fungsi reproduksi. Jika seorang perempuan Lamaholot tidak mengandung dan
melahirkan anak (termasuk tidak memberikan anak laki-laki), maka dalam budaya
ini terbuka kemungkinan untuk poligami.
Menjadikan
sebuah “Newa” sebagai ladang, kita dapat membayangkan bagaimana proses pengerjaannya.
Laki-laki Lamaholot beramai-ramai menuju sebuah hutan dengan parang dan kapak
di tangan. Di tempat itu, di tengah kemarau yang panas, keringatnya tumpah
ketika harus menebas pepohonan. Tiba waktunya, kayu-kayu dan dedaunan kering
itu dibakar dan tentunya panas api itu menyengat tubuhnya. Lantas menunggu
datang musim hujan, ladang ditanami,
dijaga hingga musim panen tiba. Akankah wanita Lamaholot diperlakukan demikian
ketika mereka disimbolkan seperti “NEWA”?
Paling tidak dia sungguh dilindungi, sungguh dijaga, karena dari padanyalah
benih itu ditumbuhkan dan akan menghasilkan buah berlimpah? Ah, perempuan
Lamaholot sungguh dihargai fungsinya, untuk mengandung dan melahirkan anak.
Namun demikian, sebagai Ibu Kehidupan, perempuan Lamaholot bukanlah tanpa
pengorbanan. Ia rela “digarap”, ia rela “ditanami”, rela diapakan saja demi
demi kelanjutan kehidupannya. Perempuan Lamaholot adalah Dia yang rela
berkorban, rela mengorbankan diri demi keselamatan komunitas masyarakatnya. Hal
demikian dapat kita bandingkan dalam cerita tentang terjadinya Mata Air dan terjadinya padi (Tonu Wujo).
Demikian
sekilas pandangan tentang perempuan Lamaholot yang berpengaruh pada pemberian
kedudukan dan perannya dalam masyarakat Lamaholot agraris tradisional.
[1]
Masyarakat Lamaholot adalah Masyarakat yang berdiam di dua Kabupaten, yakni
Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Kebudayaan Lamaholot masih
meninggalkan sedikit pengaruhnya di daerah Alor Pantar, daerah pesisir di
Kabupaten Alor, Kabupaten tetangga dari Kabupaten Lembata. Ketiga Kabupaten ini
berada di dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur.
[2]
Lango Belen: Rumah Besar atau Rumah Suku
No comments:
Post a Comment