LARANTUKA
KERAJAAN KATOLIK DI NUSANTARA
KERAJAAN KATOLIK DI NUSANTARA
Oleh : Bernard Tukan
Ketika
bagian barat Kepulauan Nusantara sudah mengalami penyuburan kebudayaan Hindu
dan Islam, serta bermunculan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Islam, bagian
timur kepulauan ini masih ditandai dengan pengembaraan kelompok-kelompok suku.
Pengembaraan kelompok-kelompok suku itu tiba juga di wilayah Flores bagian
timur, Adonara, Solor, dan Lembata yang disebut tanah Lamaholot. Di wilayah ini
tersebar banyak suku. Setiap suku memiliki tutur sejarahnya sendiri hingga
menetap tinggal di wilayah ini.
Perjumpaan
suku-suku itu, lantas terjadi kawin-mawin dan membentuk Lewotana, kampung
tradisional orang Lamaholot. Lewotana merupakan suatu jagad kehidupan yang
otonom dengan adat istiadat sebagai hukum yang mengatur kebersamaan hidup. Ada
batas-batas wilayah yang merupakan hak ulayat yang dijaga mati-matian.
Pelanggaran batas wilayah merupakan pencederaan terhadap harkat dan martabat
maka dipertahankan habis-habisan melalui perang tanding. Kepala Suku atau Tuan
Tanah memiliki kekuasaan sebagaimana kekuasaan Raja dalam sistem kerajaan. Maka
di Lewotana Lamaholot terdapat banyak raja, sesuai otonomi setiap Lewotana. Ada
Kepala Suku atau Tuan Tanah, yang oleh kekuatan dan kekuasaannya dapat membawai
sejumlah Lewotana.
Dalam
buku, “Klan, Mitos, Dan Kekuasaan”, F. A. E. Van Wouden mengisahkan
pengembaraan suku-suku di kawasan Indonesia Timur pada masa lampau. Salah
satunya adalah pengembaraan suku-suku dari Timor hingga tiba di Larantuka. Ada
4 (empat) suku meninggalkan “Sina Mutin Malakkan” di Belu Selatan untuk mencari
tempat hunian yang baru. “Di Larantuka –
Bauboin (di Flores) sebagian dari mereka tinggal; merekalah yang menurunkan
raja dan penduduk pantai Larantuka.” (hal. 45). Pati Golo Arakyan, nama yang
disebut dari kelompok itu, yang kemudian dikatakan sebagai Raja I Kerajaan
Larantuka. Ia menikahi Puteri Ile Jadi Watowele, manusia yang sudah ada di
tempat itu sebelum kedatangan kelompok dari Timor.
Berturut-turut
Raja – Raja yang memerintah Kerajaan Larantuka:
1. Raja
Paty Golo Arkyan
2. Raja
Padu Ile
3. Raja
Sira Demong Pagamolang
4. Raja
Mau Boli
5. Raja
Sira Paing
6. Raja
Sira Lanang
7. Raja
Sira Napang
8. Raja
Igo
9. Raja
Ado Wuring
10. Raja
Ola Ado Bala
(dibaptis
tahun 1649 dengan nama Fransisco Ola Adobala Diaz Viera de Godinho)
11. Don
Gaspar I DVG (nama asli : Raja Pati Golo)
12. Don
Manuel DVG (nama asli : Raja Kuaka Douwo Ama. Karena masih kecil diwakili oleh
Don Contantino Blangterang de Rosary. Nama aslinya Raja Kone).
13. Don
Andre I DVG (nama aslinya : Raja Pandai I)
14. Don
Laurenso I DVG
15. Don
Andre DVG II
16. Don
Gaspar II
17. Don
Dominggo DVG (Raja Ence, memerintah tahun 1877 – 1887).
18. Don
Lorenzo II DVG (Raja Usi Neno yang memerintah tahun 1887 – 1904. Ia ditangkap
Belanda dan dibuang ke Yogja. Ia meninggal tahun 1910 dan dimakamkan di Yogya)
19. Wakil
Raja Luis Blangterang de Rosary. Ia memerintah kerajaan tahun 1905 – 1906.
20. Triumvirat
yang terdiri dari :
·
Payong Blangterang de Rosary
·
Emanuel Monteiro
·
Yohanes Blangterang de Rosary
Ketiganya
memerintah tahun 1906 – 1912.
21. Raja
Don Yohanes Servus
22. Raja
Don Lorenzo III DVG (Raja Nua Usi, Raja terakhir kerajaan Larantuka).
Tercatat
ada 7 Wakil Raja :
1. Constantino
Payong
2. Constantino
Cone
3. Alwi
4. Ibunda
Don Lorenzo DVG
5. Luis
Blangterang de Rosary
6. Triumvirat
(Payong Blangterang de Rosary, Emanuel Monteiro, Yohanes Blangterang de Rosary)
7. Antonius
Blangterang de Rosary (Tahun 1919 – 1917)
Pada
abad XV Kerajaan Larantuka ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit. Pengaruh
kerajaan Majapahit tampak dalam struktur pemerintahan Kerajaan Larantuka. Raja
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibantu oleh para Pou atau Pu/Empu. Pou
merupakan Dewan Mahkota yang berperan sebagai Penasihat Raja, sekaligus
menjalankan tugas-tugas eksekutif dan legislatif. Terdapat 5 (lima) Pou :
·
Pou Kampung besar Waibalun
·
Pou Kampung besar Larantuka
·
Pou Kampung besar Balela
·
Pou Kampung besar Lawerang
·
Pou Kampung besar Lebao
Kemudian
Pou Lawerang diganti dengan Pou Lewolere.
Di
bawah Raja ada penguasa wilayah yang disebut Kakang:
Ø Flores
Timur Daratan :
1. Kakang
Mudakeputu
2. Kakang
Wolo
3. Kakang
Lewotobi
4. Kakang
Lewoingu
Ø Lembata
:
5. Kakang
Leweloba
6. Kakang
Lamalera
Ø Solor
:
7. Kakang
Pamakayo
8. Kakang
Lewolein
Ø Adonara
:
9. Kakang
Horowura
10. Kakang
Tanah Boleng
Ø Khusus
:
11. Kakang
Lewotala (Kakang Ape Dapo)
12. Kakang
Kiwangona (Kakang Lango – One)
Bulan
Januari 1512 Fransisco Serao, orang Portugis menyinggahi Solor dalam
perjalanannya ke Malaka. Kemudian orang Portugis mulai menyebarkan agama
Katolik di wilayah ini. Tahun 1561 mulai Misi Solor. Banyak penduduk dibaptis
menjadi Katolik. Tanggal 20 April 1613 Benteng Lohayong di Solor jatuh ke
tangan Belanda, maka berakhirlah misi Solor. Pusat misi beralih ke Larantuka,
dan semakin banyak penduduk Larantuka menjadi Katolik.
Pada
tahun 1511 Portugis menduduki Malaka. Selama 130 tahun berada di Malaka banyak
penduduk dibaptis menjadi Katolik. Tanggal 14 Januari 1641 VOC merebut Malaka
dari tangan Portugis. Penduduk Malaka yang sudah beragama Katolik bermigrasi ke
daerah-daerah Katolik, termasuk banyak yang datang ke Larantuka. Sejak saat itu
mayoritas penduduk Larantuka beragama Katolik.
Pada
tahun 1645 lahir Ola Adobala sebagai Raja Ke-10 Kerajaan Larantuka. Ia
dipemandikan pada tahun 1649 dengan nama Fransisco Ola Adobala Diaz Viera de
Godinho. Menyusul seluruh kerabat Raja dibaptis katolik. Pada tahun 1661 ia
dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya Raja Ado Wuring. Tahun 1665 ia
menyerahkan tongkat kerajaan kepada Renha Rosari.
Dengan demikian Bunda Maria menjadi Ratu Kerajaan Larantuka, dan Raja menjadi
Abdi Maria, Servus Mariae. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai Tonggak
Sejarah Larantuka menjadi Kerajaan Katolik.
Sebagai
Kerajaan Katolik, Raja memiliki kekuasaan dan peran dalam urusan agama katolik,
khususnya menyangkut tradisi devosi warisan misionaris Dominikan. Raja bersama
suku-suku kerabat mengatur kegiatan mengaji
semana (doa selama masa prapaskah) secara bergilir, dimana keluarga Raja
mendapat giliran pertama. Raja yang berhak membuka pintu Kapela Tuan Ma untuk
memulai upacara-upacara di kapela itu. Raja memiliki posisi penting dalam
Prosesi Jumad Agung. Dalam organisasi Confreria (serikat kaum awam), ex officio
Raja menjabat Presidenti.
Dalam
banyak publikasi tentang sejarah Gereja di Larantuka, dikatakan bahwa dari
semua Raja Larantuka, Don Lorenzo II DVG dipandang sebagai Raja yang sangat
membantu penyebaran agama katolik di wilayah ini. Sebagai lulusan sekolah
katolik, beliau turut bersama para misionaris mengajar agama di
kampung-kampung. Beliau satu-satunya Raja Larantuka yang dinobatkan menjadi
Raja melalui upacara misa pada tanggal 14 September 1887. Pada kesempatan itu
beliau mengikrarkan sumpah di depan Perawan Tersuci Maria dan meletakkan
tongkat Kerajaan di atas altar tersebut. Pada tanggal 8 September 1888 beliau
membaharui penyerahan Kerajaan Larantuka kepada Bunda Maria. Dengan demikian,
semakin pasti Kerajaan Larantuka merupakan Kerajaan Katolik. Para Raja sejak
Raja Ola Adobala dipermandikan menghidupi tradisi katolik warisan misionaris
Portugis yang masih kita saksikan hingga saat ini, utamanya tradisi devosi
Semana Santa.
Dari
paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa Larantuka dikatakan sebagai Kerajaan
Katolik dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut :
« Raja
dan rakyatnya (mayoritas) memeluk agama katolik
« Raja
memiliki kedudukan penting dan berperan dalam kegiatan-kegiatan agama katolik,
seperti mengatur upacara, menyebarkan agama, berkuasa atas barang-barang untuk kepentingan upacara katolik, misalnya kapela dan segala isinya.
« Raja
menyerahkan kerajaan di bawah perlindungan dan “kekuasaan” Bunda Maria.
Dalam
sejarah tidak ditemukan fakta bahwa hukum agama Katolik dijadikan hukum
Kerajaan Larantuka. Dengan demikian, Kerajaan Larantuka bukan Kerajaan Agama
Katolik, tetapi kerajaan yang kental dengan ciri-ciri katolik karena Raja dan
mayoritas penduduknya beragama katolik.
Larantuka, 29 November 2015
Simpa Sio Institute