Saya masih ingat sebuah cerita pendek dari senior saya waktu itu. Cerita itu berjudu
l "Si Gembala Babi". Sekilas ceritanya seperti ini:
"Ada seorang gembala Babi yang menggembalakan Babi di sebuah bukit. Ketika malam, badai besar pun datang. Ternak Gembalaannya pun lari meninggalkan dia dan dia sendiri tersesat dalam badai dan hutan perbukitan. Malam pun semakin larut dan si Gembala pun hampir hilang harapan. Dalam gelapnya malam dan ganasnya badai, dia tidak lagi tahu di mana utara, selatan, timur maupun barat. Dia tersesat! Selepas badai, gelapnya malam masih membuat dia hilang arah. Tetapi dari kejauhan dia melihat ada satu titik api, kecil, kadang jelas, kadang suram dan kadang menghilang. Sayup-sayup kejahuan dia tetap memandang titik api itu. Dia pun berjalan menuju titik api itu, tidak peduli semak, duri dan gelapnya malam. Setidaknya titik api itu dia jadikan bintang pengganti kompas yang biasa dipakainya sebagai patokan arah. Dia terus berjalan dan berjalan, tanpa peduli pada gelapnya malam dan rintangan yang dia hadapi dalam gelapnya malam itu. Hingga pada akhirnya titik api itu semakin besar dan terlihatlah Api unggun yang dikelilingi sekelompok gembala yang mengembalakan ternak mereka di bukit yang sama.Dia pun mengakhiri ketersesatannya itu ketika sekelompok gembala itu menyambut kedatangannya."
Cerita yang sederhana tetapi sangat bermakna menurut saya. Gembala yang tersesat ini tidak begitu saja putus harapan dalam gelapnya malam dan derasnya badai. Dia tetap menjaga semangat dan harapan kala melihat titik api yang sayup-sayup di kejauhan itu.
Benar kata sahabat; "Dum spiro spero-Selama saya bernapas, saya akan terus berharap". Dari banyak yang menertawai dan meragukan bahkan mengolok, masih ada yang percaya dan menyemangati semangat yang selalu ada ini. Sekarang bagaimana caranya untuk "Menemukan jalan pulang"