Monday, November 16, 2015

NEWA: Simbol Perempuan Lamaholot




NEWA: SIMBOL PEREMPUAN LAMAHOLOT 



Berbicara tentang gender dalam konteks budaya Lamaholot[1], kita perlu memahami apa pandangan masyarakat Lamaholot tentang perempuan. Ada banyak pendekatan yang digunakan untuk memahami pandangan masyarakat Lamaholot tentang perempuan. Dalam kesempatan ini saya membatasi diri pada tradisi lisan, khususnya menyangkut bahasa dan tata cara peminangan dalam adat perkawinan Lamaholot. Unik dalam dialog antara pihak Opu (suku dari calon suami) dan pihak Belake (suku dari pihak calon suami). Dalam dialog itu, pihak Opu menyatakan; mereka telah membawa benih. Jika tuan Belake berkenan memberikan Newa, maka mereka siap menggarap, memagari dan menanam benih. Di sini seorang perempuan Lamaholot disimbolkan dengan “NEWA”, ladang garapan yang berpindah-pindah. Sementara pria Lamaholot dikatakan sepagai penggarap ladang atau Newa tersebut.
            Ketika seorang perempuan disimbolkan sebagai “Newa”, teringatlah kita akan konteks masyarakat dengan budaya agraris di dalamnya. Bagaimana ikhwal sebuah Newa itulah yang menjadi kesibukan kita dalam mencapai pandanga masyarakat Lamaholot tentang perempuan. Masyarakat Lamaholot hidup dalam “Lewo” yang otonom, dengan batu Nuba Nara sebagai pusat jagad kehidupan. Masyarakat Lamaholot terstruktur atas suku-suku pembentuknya; suku  asli (pendatang awal dan kemudian) dan pendatang dengan “Lango Belen”[2] sebagai pusatnya. Dalam suku-suku itulah hidup pribadi-pribadi Lamaholot. Masyarakat Lamaholot adalah masyarakat komunal dengan peran suku yang sangat dominan. Suku punya “Newa”, maka ketika seorang perempuan Lamaholot disimbolkan dengan Newa, dia menjadi “milik suku” dengan segala konsekuensinya.
            Sebagai milik suku, manusia Lamaholot umumnya, khususnya perepmuan Lamaholot tidak dapat hidup dari keputusannya sendiri dalam banyak hal. Hidupnya tergantung pada pengaturan suku, tergantung keputusan kolektif atau keputusan yang punya otoritas dalam suku. Dalam budaya seperti ini, manusia Lamaholot, khususnya perempuan Lamaholot dibentuk menjadi manusia yang tidak mandiri, kreativitasnya dipasung.

            “Newa” sebagai sebuah hamparan yang bisa dijadikan ladang, tentu kesuburannya selalu menjadi pertimbangan. Areal ini ditakar dari segi sejauh mana dapat menumbuhkan benih dan dapat menghasilkan buah berlimpah. Dalam tradisi berladang orang Lamaholot, bila sebuah Newa tidak menjanjikan kesuburan, sudah sulit menghasilkan buah berlimpah, maka pada gilirannya tempat itu pun ditinggalkan untuk kemudian dibuka ladang baru di Newa yang lain yang terbilang masih perawan hutannya sehingga dapat menjanjikan kesuburan. Demikian halnya perempuan Lamaholot. Ia bernilai ketika melahirkan anak turunan. Ia dinilai dari fungsi reproduksi. Jika seorang perempuan Lamaholot tidak mengandung dan melahirkan anak (termasuk tidak memberikan anak laki-laki), maka dalam budaya ini terbuka kemungkinan untuk poligami.
            Menjadikan sebuah “Newa” sebagai ladang, kita dapat membayangkan bagaimana proses pengerjaannya. Laki-laki Lamaholot beramai-ramai menuju sebuah hutan dengan parang dan kapak di tangan. Di tempat itu, di tengah kemarau yang panas, keringatnya tumpah ketika harus menebas pepohonan. Tiba waktunya, kayu-kayu dan dedaunan kering itu dibakar dan tentunya panas api itu menyengat tubuhnya. Lantas menunggu datang musim hujan,  ladang ditanami, dijaga hingga musim panen tiba. Akankah wanita Lamaholot diperlakukan demikian ketika mereka disimbolkan seperti “NEWA”? Paling tidak dia sungguh dilindungi, sungguh dijaga, karena dari padanyalah benih itu ditumbuhkan dan akan menghasilkan buah berlimpah? Ah, perempuan Lamaholot sungguh dihargai fungsinya, untuk mengandung dan melahirkan anak. Namun demikian, sebagai Ibu Kehidupan, perempuan Lamaholot bukanlah tanpa pengorbanan. Ia rela “digarap”, ia rela “ditanami”, rela diapakan saja demi demi kelanjutan kehidupannya. Perempuan Lamaholot adalah Dia yang rela berkorban, rela mengorbankan diri demi keselamatan komunitas masyarakatnya. Hal demikian dapat kita bandingkan dalam cerita tentang terjadinya Mata Air  dan terjadinya padi  (Tonu Wujo).
            Demikian sekilas pandangan tentang perempuan Lamaholot yang berpengaruh pada pemberian kedudukan dan perannya dalam masyarakat Lamaholot agraris tradisional.


[1] Masyarakat Lamaholot adalah Masyarakat yang berdiam di dua Kabupaten, yakni Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Kebudayaan Lamaholot masih meninggalkan sedikit pengaruhnya di daerah Alor Pantar, daerah pesisir di Kabupaten Alor, Kabupaten tetangga dari Kabupaten Lembata. Ketiga Kabupaten ini berada di dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur.
[2] Lango Belen: Rumah Besar atau Rumah Suku