Saturday, December 19, 2015

LARANTUKA KERAJAAN KATOLIK DI NUSANTARA



LARANTUKA
KERAJAAN KATOLIK DI NUSANTARA

Oleh : Bernard Tukan


Potret Larantuka dengan latar belakang gunung Ile Mandiri tahun 1656 oleh Vlaming van Oudshoorn, Arnold.
Keterangan foto:
Afbeeltzel van den Berg van Larentouque, hoofd-residentieplaetse der Portugezen in de quartieren van Solor ende Timor.
caption (Taken from Joseph Letor's Facebook Account)




Ketika bagian barat Kepulauan Nusantara sudah mengalami penyuburan kebudayaan Hindu dan Islam, serta bermunculan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Islam, bagian timur kepulauan ini masih ditandai dengan pengembaraan kelompok-kelompok suku. Pengembaraan kelompok-kelompok suku itu tiba juga di wilayah Flores bagian timur, Adonara, Solor, dan Lembata yang disebut tanah Lamaholot. Di wilayah ini tersebar banyak suku. Setiap suku memiliki tutur sejarahnya sendiri hingga menetap tinggal di wilayah ini.

Perjumpaan suku-suku itu, lantas terjadi kawin-mawin dan membentuk Lewotana, kampung tradisional orang Lamaholot. Lewotana merupakan suatu jagad kehidupan yang otonom dengan adat istiadat sebagai hukum yang mengatur kebersamaan hidup. Ada batas-batas wilayah yang merupakan hak ulayat yang dijaga mati-matian. Pelanggaran batas wilayah merupakan pencederaan terhadap harkat dan martabat maka dipertahankan habis-habisan melalui perang tanding. Kepala Suku atau Tuan Tanah memiliki kekuasaan sebagaimana kekuasaan Raja dalam sistem kerajaan. Maka di Lewotana Lamaholot terdapat banyak raja, sesuai otonomi setiap Lewotana. Ada Kepala Suku atau Tuan Tanah, yang oleh kekuatan dan kekuasaannya dapat membawai sejumlah Lewotana.

Dalam buku, “Klan, Mitos, Dan Kekuasaan”, F. A. E. Van Wouden mengisahkan pengembaraan suku-suku di kawasan Indonesia Timur pada masa lampau. Salah satunya adalah pengembaraan suku-suku dari Timor hingga tiba di Larantuka. Ada 4 (empat) suku meninggalkan “Sina Mutin Malakkan” di Belu Selatan untuk mencari tempat hunian yang baru. “Di Larantuka – Bauboin (di Flores) sebagian dari mereka tinggal; merekalah yang menurunkan raja dan penduduk pantai Larantuka.” (hal. 45). Pati Golo Arakyan, nama yang disebut dari kelompok itu, yang kemudian dikatakan sebagai Raja I Kerajaan Larantuka. Ia menikahi Puteri Ile Jadi Watowele, manusia yang sudah ada di tempat itu sebelum kedatangan kelompok dari Timor.

Berturut-turut Raja – Raja yang memerintah Kerajaan Larantuka:

  1.    Raja Paty Golo Arkyan

  2.    Raja Padu Ile

  3.    Raja Sira Demong Pagamolang

  4.    Raja Mau Boli

  5.    Raja Sira Paing

  6.    Raja Sira Lanang

  7.    Raja Sira Napang

  8.    Raja Igo

  9.    Raja Ado Wuring

  10. Raja Ola Ado Bala

(dibaptis tahun 1649 dengan nama Fransisco Ola Adobala Diaz Viera de Godinho)

  11. Don Gaspar I DVG (nama asli : Raja Pati Golo) 
  12. Don Manuel DVG (nama asli : Raja Kuaka Douwo Ama. Karena masih kecil diwakili oleh Don Contantino Blangterang de Rosary. Nama aslinya Raja Kone).
  13. Don Andre I DVG (nama aslinya : Raja Pandai I)

  14. Don Laurenso I DVG

  15. Don Andre DVG II

  16. Don Gaspar II

  17. Don Dominggo DVG (Raja Ence, memerintah tahun 1877 – 1887).

  18. Don Lorenzo II DVG (Raja Usi Neno yang memerintah tahun 1887 – 1904. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Yogja. Ia meninggal tahun 1910 dan dimakamkan di Yogya)

 19. Wakil Raja Luis Blangterang de Rosary. Ia memerintah kerajaan tahun 1905 – 1906.

  20. Triumvirat yang terdiri dari :

·         Payong Blangterang de Rosary

·         Emanuel Monteiro

·         Yohanes Blangterang de Rosary

Ketiganya memerintah tahun 1906 – 1912.

  21. Raja Don Yohanes Servus

  22. Raja Don Lorenzo III DVG (Raja Nua Usi, Raja terakhir kerajaan Larantuka).


Tercatat ada 7 Wakil Raja :

  1.    Constantino Payong

  2.    Constantino Cone

  3.    Alwi

  4.    Ibunda Don Lorenzo DVG

  5.    Luis Blangterang de Rosary

  6.    Triumvirat (Payong Blangterang de Rosary, Emanuel Monteiro, Yohanes Blangterang de Rosary)

  7.    Antonius Blangterang de Rosary (Tahun 1919 – 1917)

Pada abad XV Kerajaan Larantuka ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit. Pengaruh kerajaan Majapahit tampak dalam struktur pemerintahan Kerajaan Larantuka. Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibantu oleh para Pou atau Pu/Empu. Pou merupakan Dewan Mahkota yang berperan sebagai Penasihat Raja, sekaligus menjalankan tugas-tugas eksekutif dan legislatif. Terdapat 5 (lima) Pou :

     ·         Pou Kampung  besar Waibalun

     ·         Pou Kampung  besar Larantuka

     ·         Pou Kampung  besar Balela

     ·         Pou Kampung  besar Lawerang

     ·         Pou Kampung  besar Lebao

Kemudian Pou Lawerang diganti dengan Pou Lewolere.

Di bawah Raja ada penguasa wilayah yang disebut Kakang:

  Ø  Flores Timur Daratan :

1.    Kakang Mudakeputu

2.    Kakang Wolo

3.    Kakang Lewotobi

4.    Kakang Lewoingu

  Ø  Lembata :

5.    Kakang Leweloba

6.    Kakang Lamalera

  Ø  Solor :

7.    Kakang Pamakayo

8.    Kakang Lewolein

  Ø  Adonara :

9.    Kakang Horowura
               10. Kakang Tanah Boleng
  Ø  Khusus :

11. Kakang Lewotala (Kakang Ape Dapo)

12. Kakang Kiwangona (Kakang Lango – One)


Bulan Januari 1512 Fransisco Serao, orang Portugis menyinggahi Solor dalam perjalanannya ke Malaka. Kemudian orang Portugis mulai menyebarkan agama Katolik di wilayah ini. Tahun 1561 mulai Misi Solor. Banyak penduduk dibaptis menjadi Katolik. Tanggal 20 April 1613 Benteng Lohayong di Solor jatuh ke tangan Belanda, maka berakhirlah misi Solor. Pusat misi beralih ke Larantuka, dan semakin banyak penduduk Larantuka menjadi Katolik.

Pada tahun 1511 Portugis menduduki Malaka. Selama 130 tahun berada di Malaka banyak penduduk dibaptis menjadi Katolik. Tanggal 14 Januari 1641 VOC merebut Malaka dari tangan Portugis. Penduduk Malaka yang sudah beragama Katolik bermigrasi ke daerah-daerah Katolik, termasuk banyak yang datang ke Larantuka. Sejak saat itu mayoritas penduduk Larantuka beragama Katolik.

Pada tahun 1645 lahir Ola Adobala sebagai Raja Ke-10 Kerajaan Larantuka. Ia dipemandikan pada tahun 1649 dengan nama Fransisco Ola Adobala Diaz Viera de Godinho. Menyusul seluruh kerabat Raja dibaptis katolik. Pada tahun 1661 ia dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya Raja Ado Wuring. Tahun 1665 ia menyerahkan tongkat kerajaan kepada Renha Rosari. Dengan demikian Bunda Maria menjadi Ratu Kerajaan Larantuka, dan Raja menjadi Abdi Maria, Servus Mariae. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai Tonggak Sejarah Larantuka menjadi Kerajaan Katolik.

Sebagai Kerajaan Katolik, Raja memiliki kekuasaan dan peran dalam urusan agama katolik, khususnya menyangkut tradisi devosi warisan misionaris Dominikan. Raja bersama suku-suku kerabat mengatur kegiatan mengaji semana (doa selama masa prapaskah) secara bergilir, dimana keluarga Raja mendapat giliran pertama. Raja yang berhak membuka pintu Kapela Tuan Ma untuk memulai upacara-upacara di kapela itu. Raja memiliki posisi penting dalam Prosesi Jumad Agung. Dalam organisasi Confreria (serikat kaum awam), ex officio Raja menjabat Presidenti.

Dalam banyak publikasi tentang sejarah Gereja di Larantuka, dikatakan bahwa dari semua Raja Larantuka, Don Lorenzo II DVG dipandang sebagai Raja yang sangat membantu penyebaran agama katolik di wilayah ini. Sebagai lulusan sekolah katolik, beliau turut bersama para misionaris mengajar agama di kampung-kampung. Beliau satu-satunya Raja Larantuka yang dinobatkan menjadi Raja melalui upacara misa pada tanggal 14 September 1887. Pada kesempatan itu beliau mengikrarkan sumpah di depan Perawan Tersuci Maria dan meletakkan tongkat Kerajaan di atas altar tersebut. Pada tanggal 8 September 1888 beliau membaharui penyerahan Kerajaan Larantuka kepada Bunda Maria. Dengan demikian, semakin pasti Kerajaan Larantuka merupakan Kerajaan Katolik. Para Raja sejak Raja Ola Adobala dipermandikan menghidupi tradisi katolik warisan misionaris Portugis yang masih kita saksikan hingga saat ini, utamanya tradisi devosi Semana Santa.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa Larantuka dikatakan sebagai Kerajaan Katolik dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut :

«  Raja dan rakyatnya (mayoritas) memeluk agama katolik

«  Raja memiliki kedudukan penting dan berperan dalam kegiatan-kegiatan agama katolik, seperti mengatur upacara, menyebarkan agama, berkuasa atas barang-barang untuk kepentingan upacara katolik, misalnya kapela dan segala isinya.

«  Raja menyerahkan kerajaan di bawah perlindungan dan “kekuasaan” Bunda Maria.

Dalam sejarah tidak ditemukan fakta bahwa hukum agama Katolik dijadikan hukum Kerajaan Larantuka. Dengan demikian, Kerajaan Larantuka bukan Kerajaan Agama Katolik, tetapi kerajaan yang kental dengan ciri-ciri katolik karena Raja dan mayoritas penduduknya beragama katolik.



                                                                         
 Larantuka, 29 November 2015

           Simpa Sio Institute



Wednesday, December 16, 2015

KEPERCAYAAN KEPADA “LERA WULAN TANAH EKAN” DALAM KEBUDAYAAN LAMAHOLOT (Pendekatan Trinitas)




KEPERCAYAAN KEPADA
 “LERA WULAN TANAH EKAN
DALAM KEBUDAYAAN LAMAHOLOT
(Pendekatan Trinitas)

Oleh: Frano Tukan


            Injil dan penginjilan tidak harus bertentangan dengan kebudayaan. Malahan dapat merasuki kebudayaan tanpa menjadi tunduk terhadapnya (Evangelii Nuntiandi No. 20).[1] Gereja Ktolik dengan misi pewartaannya hadir dalam tiap-tiap kebudayaan yang dijumpainya, menyapa dan membaur ke dalam kebudayaan masyarakat setempat. Pada umumnya kehadiran agama Katolik yang dibawa oleh misionaris Eropa merangkul kebudayaan masyarakat setempat. Dengan cara ini, Agama Katolik beserta ajarannya dapat diterima baik oleh masyarakat karena masyarakat merasa tersapa oleh ajarannya. Mereka merasa bahawa kehadiran agama katolik sungguh menjawabi pertanyaan akan misteri ilahi dalam kepercayaan tradisional yang selama ini mereka dalami. Kenyataan ini berlaku pula pada masyarakat Lamaholot.[2] Sebagai masyarakat yang berbudaya, orang Lamaholot mempunyai cara hidup dan kekhasannya yang terdapat dalam budaya sehari-harinya. Kebudayaan masyarakat ini telah tumbuh dan berkambang, lama sebelum misionaris Eropa menginjakan kakinya di tanah Lamaholot bersama agama Katolik yang mereka bawa.

Kebudayaan Lamaholot
            Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar, dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (cipta, rasa dan karsa) maka kiranya terlalu banyak ragam kebudayaan masyarakat yang harus diidentifikasikan.[3] Mengacu kepada pengertian di atas maka Kebudayaan Lamaholot merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari masyarakat setempat.
Bagi orang Lamaholot, salah satu puncak kebudayaan adalah “Lewotana”. Lewotana bagi orang Lamaholot termasuk dalam sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan) yang mana menggambarkan bahwa “lewotana” (desa) berasal dari “atadikeen” (manusia), yang membentuk keluarga menjadi “lango” (rumah tangga, keluarga). Beberapa “lango” bergabung menjadi satu yang disebut “suku” dan beberapa suku bergabung menjadi “lewo”.[4] Sampai pada tahun 1960-an terdapat  praktek hidup masyarakat pedesaan di mana setiap desa harus mempunyai “wato nubanara” (batu nubanara) yang terletak di setiap pusat desa. “Wato nubanara” ini diletakan dalam satu bangunan yang dinamai “Korke”.
Korke merupakan sebuah bangunan tua yang mula-mula didirikan oleh nenek moyang di  masa lampau dan dijadikan sebagai pusat kebudayaan kampung. Selain dijadikan sebagai tempat untuk bermusyawara dan berkumpul, Korke juga merupakan tempat bagi masyarakat untuk memohon petunjuk dari arwah nenek moyang. Yang lebih penting adalah Korke merupakan tempat untuk mengadakan upacara peresembahan kepada wujud tertinggi yang diyakini serta disegani oleh masyarakat setempat.[5] Wujud tertinggi ini mereka kenal dengan sebutan “Lera Wulan Tanah Ekan” yang berarti matahari, bulan dan bumi.[6]

Kepercayaan serta Penghormatan kepada Lera Wulan Tanah Ekan dalam masayarakat Lamaholot
            Manusia beragama dapat memakai segala sesuatu yang ada di sekitarnya sebagai jembatan yang menghubungkan dia dengan Yang Suci atau Yang Ilahi.[7] Masyarakat Lamaholot pun demikian. Orang-orang Flores Timur (Lamaholot) memberi nama kepada wujud tertinggi: Matahari-Bulan-Bumi, atau dengan ungkapan asli: Lera-Wulan-Tanah Ekan. Matahari dipilih sebagai lambang untuk Allah, sebab memiliki kekuatan yang membawa kehidupan. Ia dinamakan Bapa, karena memberi kesuburan kepada bumi dengan cahaya dan hujan dari langit. Bulan dipandang sebagai lambang dari yang suci, sebab dalam dia terdapat segala perubahan dalam Kosmos dan dalam hidup manusia, seperti pergantian musim, pasang dan surut, hidup dan mati. Bumi menjadi simbol wujud tertinggi karena dia adalah ibu yang memberi nafkah kepada manusia dan menerima kembali manusia dalam haribaannya sesudah kematian.[8]
Sebelum agama katolik tiba di Flores, masyarakat setempat telah mengenal Tuhan yang kuasa yang disebut Lera Wulan Tanah Ekan atau Tuhan Langit dan Bumi. Orang Flores, terkhusus orang Lamaholot memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat pernyataan bahwa seseorang bertindak benar dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berujar: “Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan” (Tuhan mempunyai mata untuk melihat), yang berarti Tuhan mengetahuinya, Dia maha tahu, maha adil, Ia akan bertindak adil. Dan dalam peristiwa kematian, orang biasanya berkata: “Lera wulan Tanah Ekan guti na-en” (Tuhan mengambil pulang milik-Nya). Pada perayaan syukur sebelum memanen hasil ladang, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk mempersembahkan hasil panenan itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan sebelum menikmati hasil panen tersebut. Terdapat doa yang sering didaraskan dalam upacara tersebut:
Ø  Bapa Lera Wulan lodo hau, Ema Tanah Ekan gere haka. Tobo Tukan, Pae bawan, Ola di ehin kae ( Bapak Lera Wulan turunlah ke sini, Ibu Tanah Ekan bangkitlah ke sini, Duduklah di tengah kami, Hadirlah di tengah kami, Karena kerja ladang sudah berbuah)
Ø  Here du wain kae, Goong molo, Menu wahan, Nein kame makan, Dore menu urin       (Karena menyadap tuak sudah berhasil, makanlah terlebih dahulu, minumlah mendahului kami, barulah kami makan, barulah kami minum kemudian)
Penghormatan dan penghargaan kepada Lera Wulan Tanah Ekan ini hingga kini masi ada di dalam kehidupan masyarakat setempat meskipun sekarang agama Katolik telah bertumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Lamaholot. Kepercayaan ini dapat kita jumpai sekarang dalam upacara-upacara adat yang dilakukan di rumah-rumah adat. Di situ, para ketua suku akan membacakan doa-doa penghormatan kepada Lera Wulan Tanah Ekan dalam bahasa Lamaholot asli (dikatakan asli karena sekarang bahasa daerah yang digunakan sudah berubah rupa menjadi bahasa daerah yang moderen karena telah bercampur dengan bahasa-bahasa moderen). Semakin hari semakin sedikit orang yang tahu tentang bahasa-bahasa adat yang sering dipakai dalam upacara-upacara tersebut.

Pendekatan Agama Katholik (Ajaran mengenai Trinitas) ke dalam Kebudayaan Masyarakat Lamaholot
            Ajaran agama Katolik masuk ke dalam masyarakat Lamaholot melalui misionaris Dominikan. Tidak ada kendala yang berarti dalam mewartakan Injil Tuhan kepada masyarakat setempat, terkhusus tantangan dari Agama lain karena di saat itu orang Lamaholot belum mengenal agama lain. Mereka masih berpegang pada ajaran dan kepercayaan agama asli mereka.
Meski hanya sekedar mengenal dan percaya tanpa perlu mendalami makna serta artinya secara lebih mendalam, ajaran gereja Katolik tentang Trinitas dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Bilangan tiga merupakan lambang kesempurnaan. Aristoteles menyebutnya bilangan lengkap, karena mempunyai awal, pertengahan dan akhir. Para pengikut Budha memandang “aum” (Amen) sebagai simbol Trimurti, yakni Vishnu, Brahma dan Shiva. Orang Jerman di zaman dahulu memiliki dewa tritunggal yang disebut Odin, Thor dan Thyr. Orang Egypte mempunyai dewa: Bapa, Ibu dan Anak. Ada tiga bagian cakrawala, yakni langit, bumi dan samudra. Ada tiga bagian bumi yakni udara, bumi dan laut.[9] Begitu pula dengan masyarakat Lamaholot yang percaya kepada tiga rupa yang mewakili wujud tertinggi yang mereka percayai dalam wujud Matahari, Bulan dan Bumi.
Setidaknya kesamaan dalam percaya kepada wujud tertinggi dalam tiga rupa dalam masyarakat Lamaholot membantu para misionaris untuk tidak terlalu bersusah payah dalam menyebarkan agama Katolik di sana. Kepercayaan terhadap Matahari, Bulan dan Bumi  perlahan-lahan bergeser menjadi kepercayaan kepada Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Matahari diyakini sebagai Allah Bapa, sang pencipta. Bulan dipercaya sebagai Allah Roh Kudus karena mereka percaya bahwa bulan adalah penerang dan berperan dalam perubahan musim di dunia. Sedangkan Bumi diartikan sebagai Allah Putra, yang benar-benar turun dan hidup bersama manusia.



Sumber Referensi

Hayon, Niko, 1986, Ekaristi Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda, Ende-Flores: Nusa Indah

Tukan, Johan Suban (ed), 1994, Keluarga Nusa Tenggara Timur, Jakarta: Panitia Renovasi Gereja ST. Theresia Paroki Kiwang Ona, Adonara, Flores Timur, Panitia Pendukung di Jakarta

--------------------------------, 2001, Prosesi  Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana, Jakarta: YPPM dan PT. Pahala Kencana


[1] Max Boli Sabon, “Lewotana ‘Nutrisi’ Pembangunan Hukum”, dalam Johan Suban Tukan (ed), Keluarga Nusa Tenggara Timur, 1994,  hlm. 50.
[2] Lamaholot adalah nama sebuah etnik di NTT yang mendiami pulau Flores bagian timur dan kepulauan Solor (Adonara, Solor, dan Lembata). Wilayah ini sekarang terbagi dalam dua kabupaten yakni Kabupaten Flores Timur (Flores daratan bagian timur beserta Pulau Adonara dan Solor) dan Kabupaten Lembata.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 1969, hlm. 75-76.
[4] Max Boli Sabon, “Lewotana ‘Nutrisi’ Pembangunan Hukum”, dalam Johan Suban Tukan (ed), Keluarga Nusa Tenggara Timur, 1994,  hlm. 42.
[5] Jos U. Hurint, “Korke Pusat Dunia”, dalam Johan suban Tukan (ed), Prosesi Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana, 2001, hlm. 8.
[6] Niko Hayon, Ekaristi Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda, 1986, klm. 32.
[7] Ibid, hlm. 31
[8] Ibid, hlm. 32
[9] Ibid, hlm. 33