Sunday, February 14, 2016

PROSESI BAHARI: ANTARA LITURGI DAN DEVOSI



 PROSESI BAHARI: ANTARA LITURGI DAN DEVOSI 



            Liturgi berarti doa bersama. Dengan doa bersama, seharusnya terbentuk komunitas doa. Seharusnya komunitas liturgi tidak terbatas pada waktu perayaan. Seharusnya perayaan liturgi mempertemukan orang sebagai saudara seiman.[1] Lirurgi adalah perayaan iman gereja akan misteri penyelamatan Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus. Dalam liturgi terjadi perjumpaan antara Allah dengan manusia melalui Yesus Kristus dalam ikatan Roh Kudus.
Jika dilihat dari pemahaman di atas maka Prosesi Bahari dapat kita asumsikan sebagai sebuah bentuk liturgi di mana masyarakat setempat membentuk sebuah komunitas doa. Mereka tidak membatasi dirinya pada waktu perayaan saja. Dalam prosesi ini, mereka sebagai umat Allah mengalami suatu perjumpaan dengan Allah yang sungguh mereka yakini hadir melalui Yesus Kristus yang mereka arak sepanjang perjalanan bahari itu.
Di samping itu devosi sendiri berarti dedikasi pribadi Kristen kepada seorang kudus atau kepada sala satu aspek dari kehidupan Kristus, yang merupakan suatu sumber inspirasi khusus bagi orang tersebut. Bagi orang tadi, orang kudus tertentu atau Bunda Maria atau aspek tertentu kehidupan Kristus, mempunyai daya tarik khusus kepadanya. Ia merasa tertolong dan diteguhkan dalam perjalanan hidupnya. Sikap inilah yang melahirkan praktek-praktek religius tertentu yang menekankan peranan seorang kudus atau misteri ilahi tertentu dalam hidupnya[2].
Setelah mendalami makna dari Liturgi dan Devosi seperti yang telah dipaparkan di atas maka Prosesi Bahari yang setiap tahun dilakukan oleh orang Larantuka lebih tepat jika kita golongkan sebagai sebuah bentuk Devosi ketimbang Liturgi. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga unsur-unsur Liturgi dalam prosesi ini tetapi tidak dapat dengan mutlak kita golongkan dalam sebuah bentuk perayaan Liturgi. Ini diperkuat dengan apa yang dtuliskan dalam Konsili Vatikan II yang memberikan pandangannya yang cukup seimbang. “Hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam Liturgi. Sebab manusia Kristiani, yang memang dipanggil untuk berdoa bersama, toh harus memasuki biliknya juga untuk berdoa bersama Bapa di tempat yang tersembunyi” (SC. No. 13). Dikatakan juga bahwa “ulah kesalehan, umat Kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma gereja, sangat dianjurkan, terutama atas penetapan tahta Apostolik” (SC. No. 128)

INKULTURASI DALAM PROSESI BAHARI
            Wujud inkulturasi dapat terlihat dari tata cara peribadatan yang dilakukan pada saat terjadinya prosesi itu. Kita akan semakin memahami nilai inkulturasi dalam Prosesi ini jika mencoba sedikit lebih dalam menggali sejarah masuknya agama Katolik ke dalam masyarakat setempat.
Pertama, sarana-prasarana yang dipakai seperti sampan sudah menunjukan bahwa Agama Katolik yang hadir berpadu dengan budaya kehidupan masyarakat setempat yang pada umumnya dulu bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain itu, ada tradisi dalam masyarakat setempat mengenai siapa-siapa yang berhak menjaga Kapela, tempat arca Yesus ditahtakan serta keturunan-keturunan mana yang mempunyai hak menjunjung atau membawa Arca Yesus keluar dari Kapela menuju ke sampan utama serta mengembalikannya ke tempat semula. Tradisi ini berawal dari tradisi-tradisi kepala suku dan penjaga-penjaga rumah adat tempat di mana diletakkan Korke, batu berhala pada zaman dulu, yang disembah masyarakat setempat sebelum mengenal agama Katolik. Setelah mereka mengenal agama Katolik yang dibawa oleh misionaris Eropa, tradisi-tradisi ini tidak serta merta hilang begitu saja melainkan tetap dipertahankan dan dikembangkan dalam nuansa kekristenan.

CATATAN KRITIS ATAS PROSESI BAHARI
            Benar jika dikatakan bahwa akhir-akhir ini Prosesi Bahari di Larantuka yang termasuk dalam lingkaran Prosesi Semana Santa pada hari Jumat Agung telah terjebak dalam pariwisata. Kenyataan memang berbicara seperti itu tetapi adalah sebuah kesalahan besar jika orang mengatakan bahwa Prosesi Bahari adalah sebuah obyek pariwisata yang dapat dikunjungi pada setiap tahunnya, tepatnya pada saat hari Jumat Agung. Perlu diketahui bahwa iman masyarakat setempat tetap kuat dan percaya bahwa Prosesi Bahari mempunyai suatu arti tersendiri begi mereka, di mana mereka benar-benar merasakan pengalaman perjumpaan dengan Allah. Dapat kita samakan dengan Vatikan dan Basilikanya. Banyak orang berbondong-bondong datang ke sana dengan berbagai maksud dan tujuannya sendiri-sendiri. Ada yang sunguh-sungguh ingin berdoa dan ada yang datang untuk berwisata. Masyarakat setempat pun demikian. Ada yang tetap bertahan dalam iman kepercayaan mereka tetapi ada yang mulai terseret arus zaman sehingga memanfaatkan kepopuleran tempat mereka untuk mengais satu dua rejeki.
Begitu pula dengan apa yang terjadi di Larantuka. Sekarang tinggal bagaimana saja Gereja Lokal setempat berperan aktif mengembalikan nilai-nilai religius yang perlahan-lahan terkikis arus zaman ini. Begitu pula dengan pribadi-pribadi, entah masyarakat setempat atau para peziarah yang datang dari luar yang harus semakin menyadari nilai-nilai luhur nan mulia yang terkandung dalam Prosesi Bahari ini.    



[1] Tom Jacobs, SJ, Teologi Doa, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 85.
[2] Yohanes Indrakusuma O. Carm, Kehidupan Devosional, dalam Johan Suban Tukan,  2001, Tradisi Semana Santa di Larantuka, Jakarta: Yayasan Putra-putri Reinha Rosari.