PROSESI BAHARI DI SELAT GONZALUS
Dulu, Rowido merupakan sebuah
kampung di pinggir pantai, terletak di bagian timur Larantuka.
Penduduknya berbahasa melayu, mereka datang dari bagian barat Indonesia
dengan membawa tradisi Katolik yang sudah berkembang semasa Portugis
menguasai Malaka, 1511-1641. Ketika Portugis jatuh ke tangan Belanda,
bermigrasilah penduduk Tanah Malaka ke wilayah timur Indonesia, termasuk
di wilayah Larantuka dan sekitarnya.
Tradisi Agama Katolik di
Kampung Rowido berpusat di Kapela Tuan Meninu. Di Kapela itu terdapat
banyak patung, di antaranya 3 patung yang terkenal, yakni Patung Yesus
Tersalib yang terbuat dari Gading, Patung Bunda Maria (Deo Senyora) dan
Patung Bayi Yesus Tuan Meninu. Patung Yesus Tersalib biasa diantar ke
Larantuka pada Prosesi Jumat Agung untuk ditahtakan di salah satu armida
dari 8 armida pada Prosesi Jumat Agung di Larantuka. Patung Tuan Meninu
diupacarakan secara khusus dan istimewa pada masa Natal. Ada salah
kaprah, orang menyebut Prosesi Bahari di Selat Gonzalus yakni
menghantar Tuan Meninu ke Larantuka. Sesungguhnya yang diantarkan dengan
menggunakan berok yang didampingi sejumlah sampan itu adalah menghantar
Patung Tuhan Yesus Tersalib.
Dahulu, Rowido itu sebuah kampung
sunyi, hanya orang sekampung menghantar Patung Yesus Tersalib dari
Kapela ke Pantai, kemudian hanya 1 berok dan beberapa sampan yang
menghantar Patung Yesus Tersalib ke Pante Kuce, Pohon Siri - Larantuka.
Bahkan sempat di tahun 1970-an, Prosesi itu sempat terhenti, artinya
tidak disertakan dalam prosesi di Larantuka. Setelah suksesi Bupati
Flores Timur tahun 1984, pucuk pimpinan berpindah dari Bpk. Markus
Weking kepada Bpk. Simon Petrus Soliwoa, tradisi Prosesi Bahari itu
dihidupkan kembali. Tentu saja, Bupati Soliwoa memfasilitasi dimulainya
kembali prosesi itu. Karenanya dia dinobatkan sebagai kepala kampung
untuk turut serta naik dalam berok yang memuat patung Yesus Tersalib.
Sejak itu hingga tahun kemarin selalu saja ada pejabat pemerintah
mengambil posisi yang dimulai oleh Bpk. Simon Petrus Soliwoa. Menariknya
ketika Hendrikus Hengki Mukin menjadi Bupati Flores Timur tahun
1994-2000, beliau membuka ruang dan peluang menjadikan Event Semana
Santa sebagai wisata rohani. Maka kampung yang sunyi itu pun menjadi
sangat ramai di hari Jumat Agung. Kendaraan laut yang menghantar patung
itu semakin banyak. Mulanya, selain berok dan sampailn-sampan, ada
sebuah kapal nelayan bakti. Dalam 10 tahun terakhir, Selat Gonzalus
boleh dibilang hampir dipenuhi oleh kendaraan laut; Kapal Patroli, Kapal
Nelayan Bakti, Kapal Penumpang, dan sampan-sampan. Orang-orang pun
ramai datang ke tempat itu dari penjuru tanah air, utamanya wilayah NTT,
ada pula peziara domestik dan mancanegara. Menghadapi kondisi yang
semakin kompleks itu maka dalam beberapa tahun terakhir ada pula panitia
yang dibentuk untuk perayaan iman tersebut. Pengamanan ditingkatkan
baik oleh masyarakat Kampung Rowido maupun pengamanan eksternal dari
pihak keamanan pemerintah. Karena semakin banyak orang mendatangi Kapela
itu untuk memberikan penghormatan kepada Yesus, acara cium Tuan pun
dibuka beberapa hari sebelumnya untuk memberi kesempatan kepada umat
sehingga pada hari jumat Agung lebih diprioritaskan bagi peziara yang
datang dari luar.
Siapa bilang tradisi tidak bisa berubah oleh
kemajuan yang dialami oleh masyarakat itu sendiri dan oleh pengaruh yang
datang dari luar? Yang perlu diawasi yakni jangan dengan sengaja dan
sadar mengubah tradisi demi keinginan sponsor. Pun juga jangan terjebak
dalam apa yang disebut tradisionalisasi diri, artinya menghidupkan
kembali hal yang terjadi di masa lampau yang sudah tidak sesuai dengan
kondisi zaman. Zaman berubah kita pun berubah di dalamnya. Pun juga
harus diawasi, jangan ada upaya memantas-maa
taskan diri dengan
menyibukkan diri pada hal-hal yang menyenangkan para tamu dan
mengabaikan hakekat ritual sebagai sarana mengembangkan kerohanian.
Hal-hal terakhir ini yang perlu diwaspadai sehingga Prosesi Bahari tetap
pada hakekat dan tujuannya dan tidak berniat menjadikannya sebagai
sebuah media atau sarana bagi kepentingan lain semisal untuk
komersialisasi dan politisasi. Biarlah para pelaku tradisi melaksanakan
ritual itu sesuai keyakinan dan imannya dan tidak dibelokkan kepada
kepentingan yang lain. Jika itu terjadi, kita akan terjebak dalam
kegiatan sandiwara rohani.